Kamis, 03 Juni 2010

Memori dari Aceh

Seperti hari-hari sebelumnya aku dengan perasaan yang berdebar-debar memandangi gambar brosur perjalanan pariwisata ke Aceh, di tempat favoritku setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Setelah aku pindah ke Jakarta, taman dekat rumahku adalah menjadi satu-satunya pengobat rasa rinduku pada semua keluargaku yang hilang diterjang ombak Tsunami beberapa tahun silam, mungkin orang-orang lain disini melihatku sebagai anak yang periang tetapi itu adalah semata-semata sebagai topeng dari rasa kesedihanku yang tak akan pernah bisa hilang.

Mungkin keluarga baru yang mengadopsiku sejak dua tahun lalu sedikit demi sedikit bisa memberi perhatian dan kasih sayangnya sebagai pengganti ibu, bapak, dan adikkku Raffi, yang pada hari itu terakhir kalinya aku mengobrol dan tertawa bersama mereka. Terkadang aku berpikir kenapa hanya aku yang diselamatkan oleh Tuhan untuk tetap hidup, kenapa aku tidak dizinkan untuk bersama keluargaku pergi meninggalkan dunia dan tinggal bersama mereka di surga. Kalau bukan karena papa Rudi, mama Hesti dan kakak Irma yang menjemputku di Panti Asuhan Al-Hidayah di Aceh waktu itu mungkin aku sudah mati karena percobaan bunuh diriku yang selalu gagal di cegah oleh ibu Panti.

Akhirnya tiba saatnya hari ini, hari kunjunganku ke tanah kelahiranku Aceh. Memang sudah lama kedua orang tua angkatku menjanjikan untuk mengisi waktu liburan semester ini untuk mengunjungi teman-temanku yang juga kehilangan keluarganya pada peristiwa Tsunami itu yang berada di Panti Asuhan, dan pastinya tempat yang pertama kali akan aku datangi adalah pemakaman massal para korban-korban Tsunami yang tidak ditemukan oleh para keluarganya.

Saat pertama kali menginjakkan kakiku diAceh setelah sekian lama meninggalkan Aceh dua tahun yang lalu bersama dengan keluarga baruku, aku sangat senang karena akan bertemu lagi dengan teman-temanku tetapi juga sekaligus bercampur dengan rasa takut dan trauma yang berkecamuk di hati. Meskipun pada saat itu jenazah keluargaku tidak ada yang diketemukan tetapi entah kenapa aku selalu yakin dalam benakku salah satu dari sekian banyak makam itu adalah makam ibu, bapak atau adikku Raffi, walaupun tidak tahu persis letaknya ada di sebelah mana.

Aku bersimpuh dipinggir seluruh makam dengan menaburkan bunga yang kubawa seadanya. Tetes air mata yang tidak sanggup aku tahan sejak tadi karena aku ingin menunjukkan kepada keluargaku yang sekarang kalau aku sudah bisa tegar tetapi tetap saja tidak bisa terbendung lagi. Aku terkalahkan dengan rasa sakitku yang terpendam selama ini. “Ibu, bapak, Raffi kenapa kalian tidak mengajak Anisa pergi bersama kalian?, Anisa sangat rindu kalian”, ucapku lirih. Dengan pelukkan hangat dari mama Hesti yang memberikan ketegaran sehingga aku bisa mereda sedikit tangisanku.

Keesokkan hari saatnya aku mengunjungi teman-temanku yang masih berada di Panti Asuhan Al-Hidayah, tetapi tidak semuanya bisa bertemu mungkin karena nasib mereka sama denganku telah diadopsi oleh keluarga baru, namun itu lebih baik untuk kehidupan mereka yang membutuhkan kasih sayang. Dan tidak lupa suatu tempat yang menjadi kenangan paling kuat selama aku dibesarkan di Aceh yaitu tempat tinggalku atau mungkin sekarang yang lebih tepatnya lagi disebut puing-puing karena bangunan itu sudah rata semua dengan tanah begitu pula dengan bangunan-bangunan di sebelahnya. Kusentuh satu demi satu bagian dari puing-puing itu yang menimbulkan getaran di hati ini.

Sepulangnya dari sana aku meluangkan waktu untuk mampir sejenak ke Masjid Agung Baiturrahman sambil solat Ashar. Di sekeliling Masjid itu ada taman yang indah yang dulu sering aku kunjungi bersama keluargaku setiap akhir minggu. Meskipun taman itu sudah mengalami perbaikkan setelah ikut diterjang Tsunami tetapi menurutku hanya sedikit yang berubah dan sama saja seperti dulu yang sampai saat ini banyak dikunjungi masyarakat sekitar sambil menunggu tiba waktu magrib.

Aku cinta Aceh sama besarnya dengan rasa cintaku pada ibu, bapak, dan Raffi. Dan sekarang tidak akan pernah ada lagi rasa penyesalan dalam hati, jika Tuhan masih mengizinkanku untuk hidup sampai saat ini dan memberikan kesempatan untuk mencapai cita-cita yang bapak inginkan pada pesan terakhirnya yang sampai saat ini masih teringat jelas, agar aku menjadi orang yang berguna bagi orang banyak yaitu menjadi Dokter. Papa Rudi, mama Hesti, dan kakak Irma adalah semangat baru dalam hidupku saat ini, mereka tidak lelahnya untuk selalu mendampingiku. Kasih sayang mereka akan aku rasakan sama seperti kasih sayang yang keluargaku berikan diAceh. Aku yakin ibu, bapak, dan Raffi masih setia menungguku di surga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar